Senyum adalah refleksi dari akal yang sehat. Akal yang sehat lahir dari sikap berfikir terus menerus, bertanya terus menerus, membaca terus menerus dan merefleksikan hasil renungan terus menerus. Orang yang kurang akalnya, memang masih bisa tersenyum. Karena senyum, sebagaimana cinta, secara fundamental adalah kodrati. Ketika yang kodrati itu kita asuh, kita asah, kita kasih ilmunya, latihannya, pemahamannya, maka akan semakin berkualitas. Demikian pula cinta, demikian pula senyum yang kita menej dengan baik, akan semakin bertambah kualitas dan eksistensinya. Berfikir, bertanya, membaca dan berrefleksi adalah metode terbaik untuk memenej akal kita, yang pada gilirannya nanti, kita akan terkejut dibuatnya, bahwa hasil dari akal yang kita menej itu membuahkan senyum yang amat bermakna. Senyum yang lahir dari akal yang tercerahkan, yang terkembang, yang terlebarkan, akan menjadi generator terbesar bagi rasa pengertian, rasa penghormatan, rasa toleransi, rasa penerimaan, juga menjadi benteng kokoh bagi ketegasan, ketegapan, keajegan. Itulah senyum yang penuh makna itu. Maka benarlah filosofi ilmu padi itu, makin berisi makin merunduk. Sejarah senantiasa mencatat dua kategori manusia yang bertolakbelakang keadaannya, dalam hal ketika mereka telah memiliki akal yang cerdas, ketika ilmu telah dikandungnya, yakni kategori orang yang bisa tersenyum dan orang yang tidak bisa tersenyum. Sebenarnya kategori kedua, yakni manusia yang sarat dengan ilmu tetapi sangat sombong, sangat licik, sangat kejam dan sangat sadis, bukan akalnya bermasalah, buka ilmunya yang bermasalah. Yang bermasalah adalah jiwanya. Jiwanya yang tidak bersih.
Senyum adalah refleksi dari kesadaran yang ultimate. Kesadaran mengatasi jiwa dan akal. Kadang jiwa beristirahat, kadang akal beristirahat. Tetapi kesadaran tak pernah istirahat. Kesadaran adalah ego yang terdalam. Orang mungkin pernah pingsan. Saat pingsan, jiwa dan akalnya berhenti disaat itu, tetapi kesadarannya tidak. Kita mengenal prasa sadar-hukum dan yang sejenisnya. Sadar hukum adalah diferesiasi dari kesadaran yang dikaitkan dengan hukum. Boleh jadi adakalanya seseorang lupa akan hukum. Lupa tentang nama sahabat semasa SMA, lupa tanggal lahir anak-anak. Tetapi mengenai diri, semenjak kesadaran dibenamkan Allah ke dalam eksistensi kita, tidak seorang pun yang lupa tentang dirinya sendiri, tentang egonya. Sewaktu-sewaktu orang bisa lupa dengan hukum, tetapi tidak mungkin lupa dengan diri. Hakikat lupa adalah sesuatu hilang, tidak muncul dalam ingatan, dalam fikiran, dalam akal. Ingat akan diri itu berada di luar kapasitas akal, sekalipun ada sebagiannya yang diingat oleh akal, karena akal bisa lupa, sedang ingatan terhadap diri tidak pernah hilang, maka ada institusi di luar akal yang terus menerus mengingat akan ego. Inilah pengertian dari kesadaran. Senyum adalah refleksi kesadaran. Karena itu senyum itu sadar, bagian dari ego yang terdalam. Maka ketika seseorang sudah tidak bisa lagi tersenyum, hakikatnya ia telah mati. Orang yang jiwanya kotor, sekalipun ilmunya memuncak, adalah jenazah, dan sangat membahayakan kehidupan orang-orang yang masih hidup.
Kesadaran kita dibangun sejalan dengan perkembangan kepribadian kita, kecerdasan kita, pengalaman kita, daya tahan dan kesabaran kita. Kesadaran ibarat puncak menara yang dapat meneropong segala realitas kehidupan. Namun tentu saja puncak itu sangat tergantung kepada bangunan berjenjang yang ada dibawahnya. Semakin kokoh jenjang yang menopangnya, semakin kokoh puncaknya. Bangunan berjenjang yang dimaksud adalah kepribadian kita, kecerdasan kita, pengalaman kita, daya tahan dan kesabaran kita.
Kesadaran yang terus menerus tumbuh dan berkembang adalah ketika kepribadian kita, kecerdasan kita, pengalaman kita, daya tahan dan kesabaran kita, kita pupuk, kita didik, kita latih, kita suburkan, dan akhirnya kita bagikan. Jiwa kita dikembangkan lewat ketaatan kepada nilai spiritual; akal dikembangkan lewat belajar, membaca, berfikir; maka kesadaran kita dikembangkan lewat totalitas eksistensi diri kita. Konsekuensinya, adalah segala perkara yang menyangkut kehidupan diri kita dan kehidupan di luar diri kita semuanya, tanpa kecuali ikut serta membangun kesadaran kita. Jangan lupa, dibalik kata membangun, terdapat potensi daya merobohkan. Kita berfikir, menangis, tertawa, tersenyum, merindu, berhitung, memberi, menerima, menghina, dihina, saling pukul, dan sejuta aksi, sejuta sikap, sejuta sifat, semuanya ikut membangun kesadaran kita. Ketika kesadaran kita telah mencapai ultimate, utama, mulia, kudus, suci, maka respon baliknya, adalah aksi, sikap dan sifat yang terpilih, yakni yang terkategori mulia dan kudus. Dan senyum yang lahir dari kesadaran semacam ini adalah senyum yang sangat luar biasa, baik wujudnya ataupun pengaruhnya bagi yang melihatnya.
Sekarang mari kita renungkan, masihkah kita bisa tersenyum saat kita, saudara kita, tetangga kita tertimpa musibah? Utang melilit, penyakit menggerogoti, api membakar, bumi bergetar, manusia menjajah, kelaparan merajalela, kapitalisme mencengkeram negara-negara yang lemah, bumi semakin gundul hutan-hutannya, penduduk miskin terus bertambah, anak-anak muda kita diterkam dan menerkamkan narkoba, sex bebas menjadi trend hidup, dan seterusnya, selanjutnya, berikutnya. Masihkan kita bisa tersenyum sekalipun kita berjiwa bersih, berakal hebat, berkesadaran ultimate?
Tidak ada komentar:
Posting Komentar